Jumat, 10 Januari 2014

Kasus Pelanggaran Hukum yang diawali dengan Pelanggaran Etika di tahun 2013

JAKARTA, KOMPAS.com — Langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menjerat tersangka Inspektur Jenderal Djoko Susilo dengan tindak pidana pencucian uang (TPPU) diapresiasi. Langkah itu dinilai efektif untuk mengembalikan harta negara.
"Sejatinya, pengusutan kasus-kasus korupsi memang harus ditujukan untuk mengembalikan kerugian negara yang disebabkan tindakan korupsi selain memberikan sanksi pidana bagi yang melakukan," kata anggota Komisi III DPR, Ahmad Basarah, di Jakarta, Selasa (15/1/2013 ).
Sebelumnya, selain dijerat dugaan korupsi terkait proyek pengadaan simulator ujian surat izin mengemudi (SIM) saat masih menjabat Kepala Korps Lalu Lintas Polri, Djoko juga dijerat TPPU. Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal itu mengatur soal pidana tambahan berupa penggantian uang kerugian negara. Perampasan barang bergerak atau tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi oleh seorang terdakwa.
Basarah mengatakan, Djoko tak perlu gusar atas penetapan pasal baru itu jika merasa hartanya sah secara hukum. Sebagai penegak hukum, kata politisi PDI-P itu, Djoko tentu tahu betul cara melindungi hartanya yang memang menjadi haknya.
"Djoko juga berhak mendapat keadilan atas hartanya yang dia peroleh secara sah, baik dalam kapasitasnya sebagai perwira tinggi Polri maupun kegiatan usaha lain yang sah. Jadi, biarkanlah proses hukum yang sudah dijalankan KPK berjalan sesuai koridornya," kata dia.
Basarah menambahkan, terkait penggunaan Pasal 18 UU Pemberantasan Tipikor, KPK harus belajar dari proses hukum terdakwa Angelina Sondakh alias Angie. Dalam vonis Angie, majelis hakim Pengadilan Tipikor tak sependapat dengan jaksa KPK terkait penggunaan pasal tersebut.
"Putusan itu (Angie) dapat dijadikan pelajaran bagi KPK untuk mengubah strategi penuntutannya dalam kasus Djoko agar tidak mengulangi kegagalannya pada tingkat pertama itu," kata Basarah.
Setelah melakukan perhitungan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan bahwa nilai kerugian negara yang muncul dari dugaan korupsi proyek simulator ujian surat izin mengemudi (SIM) di Korps Lalu Lintas Kepolisian RI mencapai Rp 121 miliar. Nilai ini meningkat jika dibandingkan perkiraan awal yang menyebut angka Rp 100 miliar. "Hasil perhitungan dugaan kerugian negara pengadaan simulator SIM ini adalah Rp 121 miliar," kata Juru Bicara KPK Johan Budi, di Jakarta, Senin (1/4/2013).
KPK melakukan perhitungan kerugian negara ini dengan memeriksa sejumlah saksi dan melakukan cek fisik simulator SIM kendaraan roda dua dan roda empat di sejumlah daerah.  Dalam kasus ini, KPK menetapkan empat tersangka, yakni mantan Kepala Korlantas Polri Inspektur Jenderal Polisi Djoko Susilo, Mantan Wakil Kepala Korlantas Brigadir Jenderal Polisi Didik Purnomo, Direktur Utama PT Citra Mandiri Metalindo Abadi (CMMA) Budi Susanto, serta Direktur PT Inovasi Teknologi Indonesia (ITI) Sukotjo S Bambang. Mereka diduga bersama-sama melakukan perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang untuk menguntungkan diri sendiri atau pihak lain, tapi justru merugikan keuangan negara. 
KPK menduga ada penggelembungan harga simulator SIM roda dua dan roda empat yang tendernya dimenangkan PT CMMA. Perusahaan Budi tersebut memenangkan tender proyek simulator SIM roda dua dan roda empat senilai Rp 196,8 miliar. Dalam pelaksanaannya, PT CMMA diduga membeli barang dari PT Inovasi Teknologi Indonesia dengan harga yang jauh lebih murah, yakni sekitar Rp 90 miliar.
Melalui pengembangan penyidikan kasus dugaan korupsi simulator SIM, KPK juga menjerat Djoko dengan kasus dugaan tindak pidana pencucian uang. Sejauh ini, lembaga antikorupsi itu sudah menyita aset Djoko senilai kurang lebih Rp 70 miliar.

Analisis ;
Dari kasus diatas telah melanggar kode etik publik. Karena telah menyembunyikan, menyamarkan, mengubah bentuk hartanya yang ditengarai berasal dari. Dalam kasus simulator SIM, Djoko diduga melakukan perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang untuk menguntungkan diri sendiri atau pihak lain sehingga merugikan keuangan negara. Jelas telah menyalah gunakan harta negara dan membohongi publik karena ulah yang diperbuat sendiri.

Opini ;
Bahwa penegakan hukum di Indonesia tidak mudah. Belum lagi adanya sindiran hukum ternyata tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Kalau menyangkut lapisan masyarakat bawah, pencuri ayam atau buah–buahan, hukum sangat tajam. Kalau terkait kakap, hukum bagi lapisan masyarakat atas bisa tumpul.  Citra penegakan hukum seperti ini sudah tentu sangat merugikan citra bangsa dan negara secara keseluruhan.  Dampak sampingannya, bisa mengganggu pembangunan ekonomi.  Para investor asing, misalnya,  bisa ragu  menamamkan modalnya.
Polemik masalah  keputusan pengadilan  Tipikor, termasuk kasus Simulator SIM, tidak akan ada ujungnya jika sikap jujur belum dapat ditegakkan. Sebab, semua pihak, termasuk terdakwa, merasa  keputusan pengadilan itu tidak adil.  Keadilan, sebagaimana juga keadilan ekonomi,  merupakan tujuan yang sifatnya “open – ended”. Tetapi, ketidakadilan yang sangat mencolok bisa menimbulkan keresahan masyarakat. Dalam hal ini, yang diperlukan adalah sebuah “kepatutan” atau “kepantasan”, sehingga nilai–nilai moral yang hidup di masyarakat terakomodasi. Pada akhirnya, etikalah yang harus ditegakkan. “Pakta Integritas”  perlu dideklarasikan dan diimplementasikan di lembaga/intistusi dan pelaku penegakan hukum, para hakim dan jaksa serta pengacara dan masyarakat pencari keadilan hukum. Siapa yang bertanggung jawab?

Sumber :